KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan kehadirat
Allah SWT. Atas segala limpahan
karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada
sang pemimpin tauladan Rasulullah SAW.
Tugas ini disusun guna memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen dan merupakan salah satu syarat untuk mengikuti mata kuliah dasar-dasar ips. Makalah ini disusun dengan sederhana sesuai dengan kemampuan yang penulis miliki.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis menerima saran dari pihak pembaca untuk memperbaiki makalah yang penulis buat selanjutnya.
Tugas ini disusun guna memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen dan merupakan salah satu syarat untuk mengikuti mata kuliah dasar-dasar ips. Makalah ini disusun dengan sederhana sesuai dengan kemampuan yang penulis miliki.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis menerima saran dari pihak pembaca untuk memperbaiki makalah yang penulis buat selanjutnya.
DAFTAR ISI
BAB
I
PENDAHULUAN…………………………………………………………..
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………
1.3 Maksud dan Tujuan………………………………………………………
PENDAHULUAN…………………………………………………………..
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………
1.3 Maksud dan Tujuan………………………………………………………
BAB
II
PEMBAHASAN…………………………………………………………
2.1 asas-asas pendidikan……………………………………………………
2.2 landasan pendidikan……………………………………………………
2.3 kontribusi pendidikan………………………………………………………
PEMBAHASAN…………………………………………………………
2.1 asas-asas pendidikan……………………………………………………
2.2 landasan pendidikan……………………………………………………
2.3 kontribusi pendidikan………………………………………………………
BAB
III
PENUTUP……………………………………………………
3.1 kesimpulan………………………………………………
PENUTUP……………………………………………………
3.1 kesimpulan………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pendidikan
sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak darisejumlah
landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas
tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap
perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan
pendidikan tersebut adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, yang
sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan. Selanjutnya
landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk mnjemput masa
depan.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini perlu adanya suatu
rumusan masalah yang tepat sehingga masalahnya jelas ada pun rumusan masalah
tersebut adalah sebagai berikut :
1. apa sajakah asas-asas dalam pendidikan?
2. landasan dalam pendidikan?
3. kontribusi pengembangan dalam pendidikan?
1. apa sajakah asas-asas dalam pendidikan?
2. landasan dalam pendidikan?
3. kontribusi pengembangan dalam pendidikan?
1.3 Maksud Dan Tujuan
Makalah ini dibuat dengan maksud memenuhi
tugas mata kuliah Dasar dasar ips dengan tujuan membuat makalah ini adalah:
1. Agar
mengetahui apa saja asas-asas dalam pendidikan
2. Agar
mengetahui landasan-landasan dalan pendidikan
3. Agar
mengetahui kontribusi pengembangan dalam pendidikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Asas pendidikan di Indonesia
Asas pendidikan
merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar
atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan
pendidikan. Khusus diIndonesia, terdapat beberapa asas pendidikan yang memberi
arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas-asas tersebut
bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan di dunia maupun yang
bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di
Indonesia. Diantara asas tersebut adalah Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar
Sepanjang Hayat, dan Asas Kemandirian dalam Belajar. Ketiga asas itu dianggap
sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa datang. Oleh
karena itu, setiap tenaga kependidikan harus memahami dengan tepat ketiga asas
tersebut agar dapat menerapkannya dengan semestinya dalam penyeleenggaraan
pendidikan sehari-hari.
Asas-asas Tut Wuri Handayani
Asas Tut Wuri Handayani Asas Tut Wuri
Handayani merupakan gagasan yang mula-mula dikemukakan oleh KiHajar Dewantara
seorang perintis kemerdekaan dan pendidikan nasional. Tut Wuri Handayani
mengandung arti pendidik dengan kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari
belakang dan memberi pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak
mencarijalan sendiri, dan bila anak melakukan kesalahan baru pendidik membantunya
(Hamzah,1991:90). Gagasan tersebut dikembangkan Ki Hajar Dewantara pada masa
penjajahan dan masa perjuangan kemerdekaan. Dalam era kemerdekaan gagasan
tersebut serta merta diterima sebagai salah satu asas pendidikan nasional
Indonesia (Jurnal Pendidikan, No.2:24). Asas Tut Wuri Handayani yang kini
menjadi semboyan Depdikbud, pada awalnya merupakan salah satu dari “Asas 1922”
yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa (didirikan 3 Juli
1922). Agar diperoleh latar keberlakuan awal dari asas Tut Wuri Handayani,
perlu dikemukakan ketujuh asas Perguruan Nasional Taman Siswa yang merupakan
asas perjuangan untuk menghadapi Pemerintah colonial Belanda sekaligus untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dan sifat yang nasional dan demokrasi. Ketujuh
asas tersebut yang secara singkat disebut ”Asas 1922” adalah sebagai berikut:
a. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya
sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum.
b. Bahwa pengajaran harus member pengetahuan yang berfaedah,
yang dalam arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri.
c.
Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
d.
Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh
rakyat.
e.
Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya lahir maupun batin
hendaknya diusahakan dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan apapun dan
dari siapapun yang mengikat baik berupa ikatan lahir maupun ikatan batin.
f.
Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus
membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
g.
Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk
mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-
anak.
Sebagai asas pertama, Tut Wuri Handayani
merupakan inti dari sistem Among perguruan, di mana guru memperoleh sebutan
pamong yang berdiri di belakang dengan semboyan tut wuri handayani. Asas yang
dikumandangkan oleh Ki Hajar Dewantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs.
R.M.P. Sostrokartono (fisuf dan ahli bahasa) dengan menambahkan dua semboyan
lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso (Raka Joni,
et. Al., 1985:38; Wawasan kependidikan Guru, 1982: 93). Kini ketiga semboyan
tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu:
1.
Ing Ngarso Sung Tulodo ( jika di depan memberi contoh)
2. Ing Madyo Mangun Karso (jika
ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat)
3.
Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan)
Asas Tut wuri Handayani merupakan inti dari
asas pertama (butir a) dalam asas 1922yang menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf-veschikkingsrecht) dengan
mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum. Dari asasnya yang pertama
ini jelas bahwa tujuan asas Tut Wuri Handayani yaitu:
a. pendidikan dilaksanakan tidak menggunakan
syarat paksaan,
b. pendidikan adalah penggulowenthah yang
mengandung makna: momong, among, ngemong (Karya Ki Hajar Dewantara, hal. 13).
Among mengandung arti mengembangkan kodrat alam anak dengan tuntutan agar anak
didik dapat mengembangkan hidup batin menjadi subur dan selamat. Momong
mempunyai arti mengamat-amati anak agar dapat tumbuh menurut kodratnya. Ngemong
berarti kita harus mengikuti apa yang ingin
diusahakan anak sendiri dan memberi bantuan pada saat anak membutuhkan,
c.
pendidikan menciptakan tertib dan damai (orde en vrede),
d.
pendidikan tidak ngujo (memanjakan anak), dan
e. pendidikan menciptakan iklim, tidak terperintah,
memerintah diri sendiri, dan berdiri di atas kaki sendiri (mandiri dalam diri
anak didik).
Semboyan lainnya, sebagai bagian tak
terpisahkan dari tut wuri handayani, pada hakikatnya bertolak dari wawasan tentang
anak yang sama, yakni tidak ada unsur perintah,paksaan atau hukuman, tidak ada
campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri
dengan kekuatan sendiri. Dari sisi lain, pendidik setiap saat siap memberi
uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. Ing Ngarsa Sung Tuladha Ing ngarsa
sung tuladha (di depan member contoh) adalah hal yang baik mengingat kebutuhan
anak maupun pertimbangan guru. Di bagian depan, seorang guru akan membawa buah
pikiran para muridnya itu ke dalam sistem ilmu pengetahuan yang lebih luas. Ia menempatkan
pikiran / gagasan / pendapat para muridnya dalam cakrawala yang baru, yang lebih
luas. Dalam posisi ini ia membimbing dan memberi teladan. Akhirnya, dengan
filosofi semacam ini, siswa (dengan bantuan guru dan teman-temannya}
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri di antara pengetahuan yang telah
dikonstruksi oleh banyak orang termasuk oleh para ahli.Ing Madya Mangu Karsa
Ing madya mangu karsa (di tengah membangkitkan kehendak) diterapkan dalam situasi
ketika anak didik kurang bergairah atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan
atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat motifasi. Dan, guru
maju ke tengah-tengah (pemikiran) para muridnya. Dalam posisi ini ia
menciptakan situasi yang memungkinkan para muridnya mengembangkan, memperbaiki,
mempertajam, atau bahkan mungkin mengganti pengetahuan yang telah dimilikinya
itu sehingga diperoleh pengetahuan baru yang lebih masuk akal, lebih jelas, dan
lebih banyak manfaatnya. Guru mungkin mengajukan pertanyaan, atau mungkin
mengajukan gagasan/argumentasi tandingan.Mungkin juga ia mengikuti jalan
pikiran siswa sampai pada suatu kesimpulan yang keliru dsb. Pendek kata, di
tengah seorang guru menciptakan situasi yang membuat siswa berolah pikir secara
kritis untuk menelaah buah pikirannya sendiri atau orang lain. Guru menciptakan
situasi agar terjadi perubahan konsepsional dalam pikiran siswa-siswanya. Yang
salah digantiyang benar, yang keliru diperbaiki, yang kurang tajam dipertajam,
yang kurang lengkapnetahuan ini diperoleh para murid dari berbagai sumber
belajar sebelum ia mengikuti pelajaran di kelas itu. Dalam posisi ini guru
menjadi pendengar yang baik sekaligus membantu para muridnya agar dapat mengungkapkan
pendapat / gagasan / jalan pikirnyang dilakukann oleh manusia ketika lahir
sampai meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang
sudah tidak asing lagi. Melalui pendidikan sepanjang hayat, manusia selalu
belajar melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau
pengalaman yang telah dialami. Konsep pendidikan sepanjang hayat tidak mengenal
batas usia, semua manusia baik yang masih kecil hingga lanjut usia tetap bisa
menjadi peserta didik, karena cara belajar sepanjang hayat dapat dilakukan
dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun.
Menurut pendapat Sudjana (2001:
217-218) pendidikan sepanjang hayat memberikan arah supaya pendidikan nonformal
dikembangkan di atas prinsip-prinsip pendidikan di bawah ini :
1. Pendidikan hanya akan
berakhir apabila manusia telah meninggal dunia
2. Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi peserta didik untuk merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara terorganisi dan sistimatis.
3. Kegiatan belajar bertujuan untuk mempeoleh, memperbaharui, dan meningkatkan pengetahuan,sikap dan ketrampilan yang telah dimiliki.
4. Pendidikan memiliki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi kebutuhan belajar dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap manusia yang melakukan kegiatan belajar.
5. Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan manusia, baik untuk meningkatkan kemampuannya, agar manusia selalu melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi peserta didik untuk merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara terorganisi dan sistimatis.
3. Kegiatan belajar bertujuan untuk mempeoleh, memperbaharui, dan meningkatkan pengetahuan,sikap dan ketrampilan yang telah dimiliki.
4. Pendidikan memiliki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi kebutuhan belajar dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap manusia yang melakukan kegiatan belajar.
5. Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan manusia, baik untuk meningkatkan kemampuannya, agar manusia selalu melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tahap Proses Belajar
Pendidikan Sepanjang Hayat
Tahapan
belajar manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama
ialah proses belajar yang tidak dapat dilihat oleh panca indera, karena proses
belajar terjadi dalam pikiran seseorang yang sedang melakukan kegiatan belajar.
Proses ini sering disebut dengan proses intern. Bagian yang kedua disebut
proses belajar ekstern, proses ini dapat menunjukkan apakah dalam diri
seseorang telah terjadi proses belajar yang ditandai dengan adanya perubahan ke
arah yang lebih baik.
Menurut
Suprijanto (2007) proses belajar yang terjadi dalam diri seseorang yang sedang
belajar berlangsung melalui enam tahapan yaitu :
1. motivasi
Yang
dimaksud motivasi di sini adalah keinginan untuk mencapai suatu hal. Apabila
dalam diri peserta didik tidak ada minat untuk belajar, tentu saja proses
belajar tidak akan berjalan dengan baik. Jika demikian halnya, pendidik harus
menumbuhkan minat belajar tersebut dengan berbagai cara, antara lain dengan
menjelaskan pentingnya pelajaran dan mengapa materi itu perlu dipelajari.
2.
Perhatian pada Pelajaran
Peserta
didik harus dapat memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Apabila hal itu tidak
terjadi maka proses belajar akan mengalami hambatan. Perhaian peserta ini
sangat tergantung pada pembimbing.
3.
Menerima dan Mengingat
Setelah
memperhatikan pelajaran, seorang peserta didik akan mengerti dan menerima serta
menyimpan dalam pikirannya. Tahap menerima dan mengingat ini harus terjadi pada
diri orang yang sedang belajar. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
penerimaan dan pengingatan ini, seperti struktur, makna, pengulangan pelajaran
, dan interverensi.
4.
Reproduksi
Dalam
proses belajar, seseorang tidak hanya harus menerima dan mengingat informsasi
baru saja, tetapi ia juga harus dapat menemukan kembali apa-apa yang pernah dia
terima. Agar peserta didik mampu melakukan reproduksi, pendidik perlu
menyajikan pengajarannya dengan cara yang mengesankan.
5.
Generalisasi
Pada
tahap generalisasi ini, peserta didik harus mampu menerapkan hal yang telah
dipelajari di tempat lain dan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Generalisasi
juga dapat diartikan penerapan hal yang telah dipelajari dari situasi yang satu
ke situasi yang lain.
6.
Menerapkan Apa yang Telah Diajarkan serta Umpan Balik
Dalam
tahap ini, peserta didik harus sudah memahai dan dapat menerapkan apa yang
telah diajarkan. Untuk meyakinkan bahwa peserta didik telah benar-benar
memahami, maka pembimbing dapat memberikan tugas atau tes yang harus dikerjakan
oleh peserta didik. Tes yang diberikan pun dapat berupa tes tertulis maupun
lisan. Selanjutnya, pendidik berkewajiban memberikan umpan balik berupa
penjelasan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan umpan balik seperti itu,
peserta didik dapat mengetahui seberapa ia memahami apa yang diajarkan dan
dapat mengoreksi dirinya sendiri.
Membentuk
Kemandirian Melalui Pendidikan Sepanjang hayat.
Setiap
manuusia yang lahir di dunia ini tidak langsung dapat hidup mandiri. Di awal
kehidupannya, ia akan membutuhkan bantuan dari orang lain, bahkan cenderung
tergantung terhadap orang lain. Sejak bayi hingga anak-anak ia akan sangat
membutuhkan peran keluarga dan orang-orang di sekitarnya agar dapat membantu ia
untuk bertahan hidup. Namun seiring pertumbuhannya, sedikit demi sedikit ia
akan mampu mengurangi tingkat ketergantungannya kepada orang lain, sehingga
lama kelamaan ia dapat menjadi manusia yang mandiri.
Menurut
Sudjana (2001: 227-228) perubahan sikap dan perilaku di atas, yaitu dari
menggantungkan diri kepada orang lain ke arah sikap yang mandiri, merupakan
indikator orang terdidik. Di pihak lain seseorang yang hidupnya hanya
menggantungkan diri kepada orang lain di sebut orang yang belum atau tidak
terdidik.
Pembelajaran merupakan proses yang
meliputi mengajar dan belajar. Belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan
dan abstraksi pengalaman baik alami maupun manusiawi (Jurnal Ilmiah VISI
PTK-PNF, 2006: Vol. 1) Proses belajar akan mampu membuat manusia tumbuh
dan berkembang sehingga mampu menjadi dewasa dan mandiri. Manusia mengalami
perubahan dari yang sebelumnya selalu tergantung kepada orang lain menjadi
manusia yang mandiri, bahkan justru akan mampu membantu orang lain. Perubahan
seperti ini seharusnya terus terjadi sepanjang hayat selama manusia tersebut
masih hidup. Namun pada kenyataannya, sebagian besar manusia berhenti belajar
setelah mereka merasa cukup dewasa. Padahal pada dasarnya perubahan-perubahan
sikap menuju arah yang lebih baik harus selalu dilakukan untuk mempersiapkan
diri terhadap perubahan-perubahan yang timbul seperti halnya perubahan dalam
bidang kemajuan teknologi dan pengetahuan. Mereka yang terus melakukan proses
belajar akan dapat mengikuti perubahan yang ada, sedangkan mereka yang berhenti
untuk belajar akan merasakan kesulitan dalam menghadapi perubahan dan akan
cenderung menjadi manusia yang kurang mandiri.
Sudjana (2001: 228) berpendapat
bahwa dalam pengembangan sikap dan perilaku mandiri, pendidikan luar sekolah
dapat berperan untuk membantu peserta didik sehingga ia dapat menyadari dan
mengakui potensi dan kemampuan dirinya. Peserta didik perlu dibantu untuk mampu
berdialog dengan dirinya dan lingkungannya. Program-program pendidikan non
formal diarahkan untuk memotivasi peserta didik dalam upaya mengaktualisasi
potensi diri, berpikir, dan berbuat positif terhadap lingkungan, serta mencapai
kepuasan diri dan bermakna bagi lingkungan.
Dalam kaitan asas belajar sepanjang hayat, dapat dikemukakan
beberapa keadaan yang ditemui sekarang:
a.
Usaha pemerintah memperluas kesempatan belajar telah mengalami
peningkatan.
b. Usaha
pemerintah dalam pengadaan dan pembinaan guru dan tenaga kependidikan pada
semua jalur, jenis, dan jenjang agar mereka dapat melaksanakan tugasnya secara
proporsional.
c.
Usaha pembaharuan kurikulum dan pengembangan kurikulum dan isi pendidikan agar
mampu memenuhi tantangan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang
berkualitas melalui pendidikan.
d.Usaha
pengadaan dan pengembangan sarana dan prasarana yang semakin meningkat: ruang
belajar, perpustakaan, media pengajaran, bengkel kerja, sarana pelatihan dan
ketrampilan, sarana pendidikan jasmani.
e. Pengadaan
buku ajar yang diperuntukan bagi berbagai program pendidikan masyarakat
f. Usaha
pengadaan berbagai program pembinaan generasi muda: kepemimpinan dan
ketrampilan, kesegaran jasmani dan daya kreasi, sikap patriotisme dan
idealisme, kesadaran berbangsa dan bernegara, kepribadian dan budi luhur.
g.Usaha
pengadaan berbagai program pembinaan keolahragaan dengan memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada anggota masyarakat untuk melakukan berbagai macam
kegiatan olahraga untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran serta prestasi di
bidang olahraga.
h.Usaha
pengadaan berbagai program peningkatan peran wanita dengan memberikan
kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan
bahagia; peningkatan ilmu pngetahuan dan teknologi, keterampilan..serta..ketahanan..mental.
Asas Kemandirian Dalam Belajar
Di dalam asas Tutwuri Handayani maupun belajar sepanjang
hayat secara langsung sangat erat kaitannya dengan asas Kemandirian dalam
belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar, mungkin dapat dikembangkan
kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru
selalu siap untuk membantu apabila diperlukan. Adapun dalam asas belajar
sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada pendapat bahwa
peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, oleh karena itu tidak
mungkin seseorang belajar sepanjang hayatnya apabila selalu tergantung dari
bantuan guru atau pun orang lain. (Rangga, 2011 Perwujudan asas
kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebagai
fasilitator dan motivator, dismping peran-peran lain: Informator, organisator,
dan sebagainya. Sebagai fasilitator guru diharapkan menyediakan dan mengatur
berbagai sumber belajar sedemikian sehingga memudahkan peserta didik
berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sedang sebagai motivator, guru
mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar
itu.
Terdapat beberapa
strategi belajar-mengajar dan suatu kegiatan belajar-mengajar yang dapat
memberi peluang pengembangan kemandirian dalam belajar. Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA) merupakan salah satu pendekatan yang memberi peluang itu, karena
siswa dituntut mengambil prakarsa dan atau memikul tanggung jawab tertentu
dalam belajar-mengajar di sekolah, umpamanya melalui lembaga kerja. Di samping
itu ada beberapa jenis kegiatan belajar mandiri lainnya seperti belajar melalui
modul, paket belajar, pengajaran berprogram, dan sebagainya. Keseluruhan upaya
itu harus didukung dengan Pusat Semua Belajar (PSB ) yang memadai di lembaga
pendidikan utamanya sekolah. Seperti diketahui, PSB itu memberi peluang
tersedianya berbagai jenis sumber belajar, disamping bahan pustaka di
perpustakaan, seperti rekaman elektronik, ruang-ruang belajar (tutorial) sebagi
mitra kelas, dan sebaginya. Dengan dukungan PSB itu asas kemandirian dalam
belajar akan lebih dimantapkan dan dikembangkan.
Kemandirian Dalam Belajar
Konsep Belajar Mandiri
(Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep pendidikan orang
dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para
ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun
2003 ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan
kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk
sekolah menengah maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan
kemampuan siswa (http://www.nwrel.org/planing/reports/self-direct/index.php )
Pengertian tentang belajar mandiri
sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli. Ada beberapa variasi
pengertian belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan
Abdullah (2001:1-4) sebagai berikut:
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).
3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).
4. Belajar Mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal).
5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero).
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).
3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).
4. Belajar Mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal).
5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero).
Jika para ahli di atas memberi makna tentang
belajar mandiri secara sepotong-sepotong, maka Haris Mujiman (2005:1) mencoba
memberikan pengertian belajar mandiri dengan lebih lengkap. Menurutnya belajar
mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk
menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan
bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai
tujuan belajar, dan cara pencapaiannya – baik penetapan waktu belajar, tempat
belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar –
dilakukan oleh siswa sendiri. Di sini belajar mandiri lebih dimaknai sebagai
usaha siswa untuk melakukan kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk
menguasai suatu kompetensi tertentu.
Pengertian belajar mandiri yang lebih terinci lagi
disampaikan oleh Hiemstra (1994:1) yang mendeskripsikan belajar mandiri sebagai
berikut:
1. Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan dalam usaha belajarnya.
2. Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran;
3. Belajar mandiri bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain;
4. Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi yang lain.
5. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti: membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi.
6. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif.
7. Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.
1. Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan dalam usaha belajarnya.
2. Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran;
3. Belajar mandiri bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain;
4. Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi yang lain.
5. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti: membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi.
6. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif.
7. Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan
beberapa pertimbangan di atas, maka belajar mandiri dapat diartikan sebagai
usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan
bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi
dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan
masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).
Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).
Belajar mandiri dan siswa mandiri seperti sekeping
mata uang yang mempunyai dua muka yang berbeda tetapi merupakan satu kesatuan
yang mempunyai suatu fungsi yang saling mendukung. Lebih jelasnya persamaan dan
perbedaan antara belajar mandiri dengan siswa mandiri digambarkan dalam bagan
sebagai berikut:
Gambar 1:
Model Personal Responsibility Orientation (PRO)
(Sumber: Roger Hiemstra:1998:25)
Model Personal Responsibility Orientation (PRO)
(Sumber: Roger Hiemstra:1998:25)
Belajar Mandiri (Self-directed learning) yang ada
di sisi sebelah kiri dari model, mengacu pada karakteristik proses belajar
mengajar, atau apa yang kita dikenal sebagai faktor eksternal dari si siswa. Di
sini mengacu pada bagaimana proses pembelajaran itu dilaksanakan. Siswa mandiri
(LearnerSelf-Direction) yang ada di sebelah kanan dari model, mengacu pada
individu yang melakukan kegiatan belajar. Termasuk di dalamnya yaitu
karakteristik kepribadian siswa, atau sering kita kenal dengan faktor internal
dari individu yang bersangkutan. Jika kedua hal tersebut (Self-directed learning
dan Learner Self-Direction) dapat tercipta dalam proses pembelajaran, maka
individu dapat memiliki kemandirian dalam belajar (self-direction in learning).
Dengan demikian Kemandirian belajar (self-direction in learning) dapat
diartikan sebagai sifat dan sikap serta kemampuan yang dimiliki siswa untuk
melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain
berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu kompetensi tertentu
sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia
nyata.
Burt Sisco dalam Hiemstra (1998: membuat sebuah model yang membantu individu untuk menjadi lebih mandiri dalam belajar. Menurut Sisco ada 6 langkah kegiatan untuk membantu individu menjadi lebih mandiri dalam belajar, yaitu: (1) preplanning (aktivitas sebelum proses pembelajaran), (2) menciptakan lingkungan belajar yang positif, (3) mengembangkan rencana pembelajaran, (4) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai, (5) melaksanakan kegiatan pembelajaran dan monitoring, dan (6) mengevaluasi hasil pembelajar individu.
Sisco menggambarkan model tersebut di atas dalam bagan sebagai berikut:
Burt Sisco dalam Hiemstra (1998: membuat sebuah model yang membantu individu untuk menjadi lebih mandiri dalam belajar. Menurut Sisco ada 6 langkah kegiatan untuk membantu individu menjadi lebih mandiri dalam belajar, yaitu: (1) preplanning (aktivitas sebelum proses pembelajaran), (2) menciptakan lingkungan belajar yang positif, (3) mengembangkan rencana pembelajaran, (4) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai, (5) melaksanakan kegiatan pembelajaran dan monitoring, dan (6) mengevaluasi hasil pembelajar individu.
Sisco menggambarkan model tersebut di atas dalam bagan sebagai berikut:
Gambar 2
Model Pembelajaran individual (Sumber: Hiemstra. 1998)
Model Pembelajaran individual (Sumber: Hiemstra. 1998)
Artikel diambil dari
http://banjarnegarambs.wordpress.com/ pada tanggal 9 November 2008
2.2 LANDASAN PENDIDIKAN
Sebelum kita membicarakan tentang landasan-landasan
pendidikan yang dianut oleh suatu bangsa, maka terlebih dahulu kita harus
mempunyai kesatuan pendapat tentang arti landasan pendidikan. Landasan
pendidikan merupakan norma dasar pendidikan yang bersifat imperatif; artinya
mengikat dan mengharuskan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
pendidikan untuk setia melaksanakan dan mengembangkan berdasarkan landasan
pendidikan yang dianut.
Umumnya ada lima landasan pendidikan utama yang
menjadi norma dasar pendidikan, yakni: (1) Landasan Filosofis Pendidikan, (2)
Landasan Sosiologis Pendidikan, (3) Landasan Kultural Pendidikan, (4) Landasan
Psikologis Pendidikan, (5) Landasan Ilmiah dan Teknologi.
Landasan Filosofis Pendidikan
Ada aliran utama filsafat di dunia sampai sekarang (Laboratorium
Pancasila IKIP MALANG, hal.14):
Materialisme: mengajarkan bahwa
hakikat realitas semesta, termasuk mahluk hidup, manusia, hakikatnya ialah materi.
Semua realitas itu ditentukan oleh materi dan terikat oleh hukum alat: sebab
akibat yang bersifat obyektif.
Idealisme/Spiritualisme:
mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan
pengertian manusia, subyek manusia sadar atas realitas dirinya dan semesta,
karena ada akal budi dan kesadaran rohani. Hakikat diri adalah akal dan budi
(ide, spirit).
Realisme: mengajarkan bahwa
materialisme dan idealisme tidak sesuai dengan kenyataan: tidak realistis.
Realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukan
materi semata-mata. Realita adalah perpaduan materi dan non materi (spiritual,
ide, rohani); terutama pada manusia nampak adanya gejala daya pikir, cipta, dan
budi. Jadi realisme merupakan sintesis jasmani dan rohani, materi dan non
materi.
Landasan Sosiologis Pendidikan
Sejalan dengan uraian di atas, landasan sosiologis
mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan
masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita pada pola
hubungan antara pribadi an antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk
terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan dama, terciptalah
nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang
mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota
masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam
norma yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham individualisme, (2) paham
kolektivisme, (3) paham integralistik.
Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia
itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja
menurut keinginannya masing-masing, asalkan tidak mengganggu keamanan orang
lain. (Usman dan Alfian, 1992:255). Dampak individualisme menimbulkan cara
pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat.
Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara
anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan
dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang
dapat eksis.
Berhadapan dengan paham di atas adalah paham
kolektivisme yang memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan
kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi
masyarakatnya.
Menurut Soepomo (Laboratorium IKIP MALANG, 1993)
dalam masyarakat yang menganut paham integralistik; masing-masing anggota
masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat.
Sedangkan menurut Soeryanto Poespowardoyo (Oesman & Alfian, 1992)
masyarakat integralistik mnempatkan manusia tidak secara individualis melainkan
dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi, namun juga merupakan relasi.
Kepentingan masyarakat secara keseluruhan
diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia
menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat:
(1) kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2)
kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi
warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban.
Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak
hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan juga kualitas
struktur masyarakatnya.
Landasan Kultural Pendidikan
Landasan kultural mengandung makna norma dasar
pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan berbudaya yang dianut oleh suatu
bangsa. Untuk memahami kehidupan berbudaya suatu bangsa kita harus memusatkan
perhatian kita pada berbagai dimensi (Sastrapratedja, 1992:145): kebudayaan
terkait dengan ciri manusia sendiri sebagai mahluk yang “belum selesai” dan
harus berkembang, maka kebudayaan juga terkait dengan usaha pemenuhan kebutuhan
manusia yang asasi: (1) kebudayaan dapat dipahami sebagai strategi manusia
dalam menghadapi lingkungannya, dan (2) kebudayaan merupakan suatu sistem dan
terkait dengan sistem sosial. Kebudayaan dari satu pihak mengkondisikan suatu
sistem sosial dalam arti ikut serta membentuk atau mengarahkan, tetapi juga
dikondisikan oleh sistem sosial.
Dengan memperhatikan berbagai dimensi kebudayaan
tersebut di atas dapat dikemukakan, bahwa landasan kultural pendidikan di
Indonesia haruslah mampu memberi jawaban terhadap masalah berikut: (1) semangat
kekeluargaan dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
pendidikan, (2) rule of law dalam masyarakat yang berbudasya
kekeluargaan dan kebersamaan,(3) apa yang menjadi “etos” masyarakat Indonesia
dalam kaitan waktu, alam, dan kerja, serta kebiasaan masyarakat Indonesia
yang menjadi “etos” sesuai dengan budaya Pancasila; beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin,
bekerja keras tangguh bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, sehat
jasmani dan rohani, dan (4) cara bagaimana masyarakat menafsirkan dirinya,
sejarahnya, dan tujuan-tujuannya. Bagaimana tiap warga memandang dirinya dalam
masyarakat yang integralistik, bagaimana perkembanga cara peningkatan hrkat dan
martabat sebagai manusia, apa yang menjadi tujuan pembentukan manusia Indonesia
seutuhnya.
Landasan Psikologis Pendidikan
Landasan psikologis mengandung makna norma dasar
pendidikan yang bersumber dari hukum-hukum dasar perkembangan peserta
didik.Hukum-hukum dasar perkembangan peserta didik sejak proses terjadinya
konsepsi sampai mati manusia akan mengalami perubahan karena bertumbuh dan
berkembang. Pertumbuhan itu bersifat jasmaniah maupun kejiwaannya. Jadi
sepanjang kehidupan manusia terjadi proses pertumbuhan yang terus-menerus.
Proses perubahan itu terjadi secara teratur dan terarah, yaitu ke arah
kemajuan, bukan kemunduran. Tiap tahap kemajuan pertumbuhan ditandai dengan
meningkatnya kemampuan dan cara baru yang dimiliki. Pertumbuhan merupakan
peralihan tingkah laku atau fungsi kejiwaan dari yang lebih rendah kepada
tingkat yang lebih tinggi. Perubahan-perubahan yang selalu terjadi itu
dimaksudkan agar orang didalam kehidupannya dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.Lingkungan manusia terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan
sosial. Lingkungan fiik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar anak yang non
manusia; sedangkan lingkungan sosial adalah semua orang yang ada didalam
kehidupan anak, yakni orang yang bergaul dengan anak, melakukan kegiatan
bersama atau bekerja sama. Tugas pendidikan yang terutama adalah memberikan
bimbingan agar pertumbuhan anak dapat berlangsung secara wajar dan optimal.
Oleh karena itu, diperlukan pngetahuan tentang hukum-hukum dasar perkembangan
kejiwaan manusia agar tindakan pendidikan yang dilaksanakan berhasil guna dan
berdaya guna. Beberapa hukum dasar yang perlu kita perhatikan dalam membimbing
anak dalam proses pendidikan.
Tiap-Tiap Anak Memiliki Sifat
Kepribadian yang Unik
Anak didik merupakan pribadi yang sdang
bertumbuh dan berkembang. Apabia kita amati secara seksama, mungkin kita
menghadapidua anak didik yang tidak sama benar. Di samping memiliki
kesamaan-kesamaan, tentu masing-masing punya sifat yang khas, yang hanya
dimiliki oleh diri masing-masing. Diakatakan, bahwa tiap-tiap anak memiliki
sifat kepribadian yang unik; artinya anak memiliki sifat-sifat khas yang
dimiliki oleh dirinya sendiri dan tidak oleh anak lain.
Keunikan sifat pribadi seseorang itu terbentuk
karena peranan tiga faktor penting, yakni: (1) keturunan/heredity, (2)
lingkungan/environment, (3) diri/self.
Faktor Keturunan
Sejak terjadinya konsepsi, yakni
proses pembuahan sel telur oleh sel jantan, anak memperoleh warisan sifat-sifat
pembawaan dari kedua orang tuanya yang merupakan potensi-potensi tertentu.
Potensi ini relatif sudah terbentuk (fixed) yang sukar berubah baik
melalui usaha kegiatan pendidikan maupun pemberian pengalaman. Beberapa ahli
ilmu pengetahuan terutama ahli biologi menekankan pentingnya faktor keturunan
ini bagi pertumbuhan fisik, mental, maupun sifat kepribadian yang diinginkan.
Pandangan ini nampaknya memang cocok untuk dunia hewan. Namun demikian, dalam
lingkungan kehidupan manusia biasanya potensi individu juga merupakan masalah
penting. Sedang para ahli ilmu jiwa yang menekankan pentingnya lingkungan
seseorang dalam pertumbuhannya cenderung mengecilkan pengaruh pembawaan ini (naïve
endowment). Mereka lebih menekankan pentingnya penggunaan secara berdaya
guna pengalaman sosial dan edukasional agar seseorang dapat bertumbuh secara
sehat dengan penyesuaian hidup secara baik.
Faktor Lingkungan
Sebagaimana diterangkan di muka,
lingkungan kehidupan itu terdiri dari lingkungan yang bersifat sosial dan
fisik. Sejak anak dilahirkan bahkan ketika masih dalam kandungan ibu, anak
mendapat pengaruh dari sekitarnya. Macam dan jumlah makanan yang diterimanya,
keadaan panas lingkungannya dan semua kondisi lingkungan baik yang bersifat
membantu pertumbuhan maupun yang menghambat pertumbuhan. Sama pentingnya dengan
kondisi lingkungan anak yang berupa sikap, perilaku orang-orang di sekitar
anak. Kebiasaan makan, berjalan, berpakaian, itu bukan pembawaan, melainkan
hal-hal yang diperoleh dan dipelajari anak dari lingkungan sosialnya. Bahasa
yang dipergunakan merupakan media penting untuk menyerap kebudayaan masyarakat
dimana anak tinggal. Tidak saja makna hafiah kata yang terdapat dalam bahasa
itu melainkan juga asosiasi perasaan yang menyertai kata dalam perbuatan.
Faktor Diri
Faktor penting yang sering
diabaikan dalam memahami prinsip pertumbuhan anak ialah faktor diri (self),
yaitu faktor kejiwaan seseorang. Kehidupan kejiwaan itu terdiri dari perasaan,
usaha, pikiran, pandangan, penilaian, keyakinan, sikap, dan anggapan yang
semuanya akan berpengaruh dalam membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari.
Apabila dapat dipahami diri seseorang, maka dapat dipahami pola kehidupannya.
Pengetahuan kita tentang pola hidup seseorang akan dapat membantu kita untuk
memahami apa yang menjadi tujuan orang itu dibalik perbuatan yang dilakukan.
Seringkali kita menginterpretasikan pengaruh pembawaan dan lingkungan secara
mekanis tanpa memperhitungkan faktor lain yang tidak kurang pentingnya bagi
pertumbuhan anak, yaitu diri (self). Memang pengaruh pembawaan dan
lingkungan bagi pertumbuhan anak saling berkaitan dan saling melengkapi; tetapi
masalah pertumbuhan belum berakhir tanpa memperhitungkan peranan self,
yakni bagaimana seseorang menggunakan potensi yang dimiliki dan lingkungannya.
Di sinilah pemahaman tentang self atau pola hidup dapat membantu
memahami seseorang. Self mempunyai pengaruh yang besar untuk
menginterprestasikan kuatnya daya pembawaan dan kuatnya daya lingkungan. Contoh
yang ekstrim ada anak yang cacat fisik, tetapi beberapa fungsinya tetap berdaya
guna, sedang anak cacat yang lain menggunakan kecacatannya sebagai suatu alasan
untuk ketidakmampuannya. Ini tidak lain karena pernana self. Self
berinteraksi dengan pembawaan dan lingkungan yang membentuk pribadi seseorang.
Tiap Anak Memiliki Kecerdasan yang Berbeda-beda
Sebagaimana diterangkan di atas,
sejak anak dilahirkan, mereka itu memiliki potensi yang berbeda-beda dan
bervariasi. Pendidikan memberi hak kepada anak untuk mengembangkan
potensinya.
Kalau kita perhatikan siswa-siswa, kita akan segera
mengetahui bahwa mereka memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, meskipun mereka
mempunyai usai kalender yang sama, tetapi kemampuan mentalnya tidak sama.
Dikatakan mereka memiliki usia kronologis yang sama, tetapi usia kecerdasan
yang tidak sama. Jadi setiap anak memiliki indeks kecerdasan yang berbeda-beda.
Indeks kecerdasan atau IQ diperoleh dari hasil membagi usia kecerdasan denga
usia kalender (usia senyatanya) dikalikan 100. Baik usia kecerdasan maupun usia
kronologis (usia senyatanya) dinyatakan dalam satuan bulan.
Anak golongan idiot mempunyai kemampuan
mental yang paling rendah. Golongan ini tidak dapat melindungi dirinya dari
bahaya atau melayani kebutuhan dirinya sendiri. Umurnya biasanya tidak panjang
dan hanya mampu menumbuhkan kemampuan mentalnya pada tingkat usia 4 tahun.
Golongan imbicile satu tingkat lebih baik
daripada golongan idiot. Anak golongan imbicile dapat dilatih
untuk melayani kebutuhan dirinya dan menguasai ketrampilan sederhana dengan
bimbingan khusus. Anak golongan ini dapat mencapai usia dewasa, tetapi jarang
sekali mencapai usia kecerdasan lebih dari tingkatan usia 8 tahun. Sedangkan
golongan moron mampu melayanai kebutuhan dirinya. Dengan pendidikan
sekolah yang direncanakan dengan seksama, mereka dapat mempelajari hal-hal yang
sederhana dan menguasai ketrampilan yang terbatas untuk lapangan pekerjaan yang
sederhana. Usia mental golongan moron jarang sekali mencapai tingkat
usia 12 tahun. Terbuka kemungkinan memasuki lapangan pekerjaan yang
menguntungkan dirinya sendiri dan yang mengerjakannya. Golongan genius pada
waktu sekarang lebih mendapat perhatian para ahli daripada sebelumnya.
Kemampuan berpikir dan penalaran golongan pada tingkatan kemampuan mental yang
tinggi, sehingga mampu melakukan kegiatan yang bersifat kreatif dan invertif.
Anak-anak berbakat ini ditemukan ada pada semua bangsa dan pada semua tingkatan
sosial ekonomi dan semua jenis (laki-laki atau perempuan). Berdasarkan data
yang ada ternyata jumlah jenius laki-laki lebih banyak dari perempuan.
Berdasarkan penyelidikan Terman; anak-anak berbakat, kondisi fisiknya lebih
baik dari yang normal, lebih kuat dan sehat dari umumnya anak-anak pada usia
yang sama. Dalam hal penyesuaian sosial sama baiknya.
Tiap Tahap Pertumbuhan Mempunyai
Ciri-ciri Tertentu
Karena tiap tahap pertumbuhan itu memiliki
ciri-ciri tertentu hal ini dapat membantu pendidik untuk mengatur strategi
pendidikan dengan kesiapan anak muda untuk menerima, memahami dan menguasai
bahan pendidikan sesuai dengan kemampuan. Jadi strategi pendidikan untuk siwa Sekolah
Taman Kanak-kanak akan berbeda dengan strategi yang diperuntukkan siswa Sekolah
Dasar. Demikian juga dengan jenjang persekolahan yang lain.
Landasan Ilmiah dan Teknologi Pendidikan
Landasan ilmiah dan teknologi pendidikan mengandung
makna norma dasar yang bersumber dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mengikat dan mengharuskan pelaksana pendidikan untuk
menerapkannya dalam usaha pendidikan. Norma dasarnya yang bersumber dari ilmu
pengetahuan dan teknologi itu harus mengandung ciri-ciri keilmuan yang hakiki
(Lihat jurnal pendidikan, Mei 1989). (1) Ontologis, yakni adanya objek
penalaran yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diamati dan diuji.
(2) Epistomologis, yakni adanya cara untuk menelaah objek tersebut dengan
metode ilmiah, dan (3) Aksiologis, yakni adanya nilai kegunaan bagi
kepentingan dan kesejahteraan lahir batin.
Bagi pendidikan di Indonesia yang menjadi objek
penalaran seluruh aspek kehidupan diklasifikasikan ke dalam bidang ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta agama. Yang
dalam pengembangannya senantiasa harus dipedomi nilai-nilai Pancasila.
Demikian pula cara telaah objek penalaran aspek kehidupan tersebut selain memperhatikan segi ilmiahnya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Nilai kegunaan ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya terkait dengan peningkatan kesejahteraan lahir batin, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing sebagai bangsa, serta tidak bertentangan dengan nilai agama dan budaya bangsa.
Manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi yang melandasi pendidikan harus mampu (1) memberikan kesejahteraan lahir dan batin setinggi-tingginya, (2) mendorong pemanfaatan pengembangan sesuai tuntutan zaman, (3) menjamin penggunaannya secara bertanggung jawab, (4) memberi dukungan nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya bangsa, (5) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (6) meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas sumber daya manusia.
Demikian pula cara telaah objek penalaran aspek kehidupan tersebut selain memperhatikan segi ilmiahnya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Nilai kegunaan ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya terkait dengan peningkatan kesejahteraan lahir batin, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing sebagai bangsa, serta tidak bertentangan dengan nilai agama dan budaya bangsa.
Manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi yang melandasi pendidikan harus mampu (1) memberikan kesejahteraan lahir dan batin setinggi-tingginya, (2) mendorong pemanfaatan pengembangan sesuai tuntutan zaman, (3) menjamin penggunaannya secara bertanggung jawab, (4) memberi dukungan nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya bangsa, (5) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (6) meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas sumber daya manusia.
2.3 KONTRIBUSI DALAM PENDIDIKAN
Kontribusi pendidikan terhadap
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
Konsep pembangunan dalam bidang sosial ekonomi sangat
beragam tergantung konteks pengggunaanya. Ahli-ahli ekonomi mengembangkan teori
pembangunan yang didasari kepada kapasitas produksi tenaga manusia di dalam
proses pembangunan, yang kemudian dikenal dengan istilah Invesment in Human
Capital. Teori ini didasari pertimbangan bahwa cara yang paling efisien dalam
melakukan pembangunan nasional suatu negara terletak pada peningkatan kemampuan
masyarakatnya. Selain itu dihipotesiskan pula bahwa faktor utama yang mendukung
pembangunan adalah pendidikan masyarakat. Teori human capital mengasumsikan
bahwa pendidikan formal merupakan instrumen terpenting untuk menghasilkan
masyarakat yang memiliki produktifitas yang tinggi. Menurut teori ini
pertumbuhan dan pembangunan memiliki 2 syarat, yaitu Adanya pemanfaatan
teknologi tinggi secara efisien, dan Adannya sumber daya manusia yang dapat
memanfaatkan teknologi yang ada. Sumber daya manusis seperti itu dihasilkan
melalui proses pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan teori human capital
percaya bahwa investasi dalam pendidikan sebagai investasi dalam meningkatkan
produktivitas masyarakat. Asumsi dasar yang melandasi keharusan adanya hubungan
pendidikan dengan penyiapan tenaga kerja adalah bahwa pendidikan
diselenggarakan untuk meningkatkan keterampilan dan pengatahuan untuk bekerja.
Dengan kata lain, pendidikan menyiapkan tenaga-tenaga yang siap bekerja. Namun
demikian pada kenyataannya tingat pengangguran di hampir seluruh negara
bertambah sekitar 2 % setiap tahunnya (World Bank:1980) Terjadinya pengangguran
bukan disebabkan tidak berhasilnya proses pendidikan, namun pendidikan tidak
selalu harus menghasilkan lulusan dengan jenis pekerjaan tertentu. Sekolah
memang dapat menghasilkan tenaga kerja dengan keterampilan tertentu, tetapi
sekolah bukan satusatunya tempat dimana keterampilan itu dapat dicapai.
Terdapat berbagai macam faktor untuk mengukur bagaimana pertumbuhan ekonomi
diukur dengan baik. Diantara ukuran-ukuran tersebut, diantaranya:
• Pendapatan per-kapita
• Perubahan peta ketenagakerjaan dari pertanian ke industri
• Konsumsi energi atau pemakaian barang berteknologi tinggi seperti mobil,
telepon, televisi Dengan demikian kriteria untuk menilai keberhasilan
pembangunan
• Peningkatan dalam efisiensi sistem produksi masyarakat yang diukur dengan GDP
dan GNP.
• Kepuasaan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,
• Pencapaian tujuan-tujuan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, yang
dikaitkan dengan penggunakan sumber daya yang terbatas. Pola keterkaitan
antara pendidikan dan pembangunan berbeda sesuai dengan karakteristik khas
setiap negara. Secara ringkas tampak berikut ini.
• Negara Kapitalis vs Negara Sosialis. Ekonomi di negara kapitalis
mengasumsikan bahwa model produksinya bebas dari intervensi pemerintah dan
mensyaratkan adanya kompetisi terbuka di dalam pemasaran.
Hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi sangat erat dan pendidikan merupakan suatu hal yang diperlukan. Ekonomi di negara sosialis, memiliki konteks yang berbeda dalam mengitepretasikan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.
Pemerintah memiliki peranan di dalam mengontrol jalannya proses produksi dan pemasaran. Kaitan antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan seolah tidak terlihat karena pembangunan sangat diatur oleh negara, bukan ditentukan oleh masing-masing warga negara. Negara Industri vs Non-Industri. Di Amerika Serikat yang sudah maju, persentase pekerja yang bekerja di sektor industri sebesar 33 % dan di bidang jasa/service sebesar 66 %. Di Meksiko persentase di sektor yang sama adalah 23 % dan 33 %. Di negara maju, penduduknya memiliki pendapatan perkapita yang lebih tinggi, pemakaian teknologi yang canggih, konsumsi energi yang lebih besar dibandingkan negara kurang berkembang. Di negara maju memiliki akumulasi modal yang lebih besar, sebagai akibat dari kelebihan pendapatan setelah dikurangi kebutuhan konsumsi, sehingga jumlah tabungan semakin lebih besar dan pada akhirnya akan diinvestasikan lagi pada sistem ekonomi yang telah berjalan. Hubungan antara pendidikan dan pembangunan di negara maju sangat jelas dilihat dari adanya perubahan karakteristik individu yang berkaitan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Di negara non-industri, perekonomiannya sangat tergantung kepada sektor pertanian sehingga persentase tenaga kerjanya lebih banyak yang bekerja di sektor non-industri. Jelas bagaimana pentingnya analisis kontribusi pendidikan dalam pembangunan. Salah satu alasan banyaknya kontroversi tentang kaitan antara pembangunan dan pendidikan disebabkan karena sedikit sekali kebijakan pendidikan yang dimonitor benar-benar dan juga dievaluasi hasilnya. Analisis terhadap pendidikan biasanya bersifat ex-post fakto, artinya data diperoleh dari kejadian-kejadian yang telah lampau. Sebenarnya konsep bagaimana pendidikan itu harus dievaluasi harus dikembangkan sejak tujuannya ditetapkan. dengan memperhatikan kerangka berpikirnya dan metodologinya. Metode yang sering dipakai dalam penelitian evaluasi adalahl linear regresion and the educational production. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk membicarakan lebih lanjut kontribusi pendidikan terhadap pembangunan harus ditemukan kriteria-kriteria atau ukuran-ukuran pertumbuhan atau hasil pembangunan. Dari uraian di atas, maka dapatlah dirumuskan ukuran-ukuran sebagai berikut.
• Teknologi tinggi dan sumberdaya yang mengoperasikannya
• Pendapatan per-kapita
• Perubahan peta ketenagakerjaan dari pertanian ke industri
• Konsumsi energi atau pemakaian barang berteknologi tinggi
• Peningkatan dalam efisiensi sistem produksi masyarakat yang diukur dengan GDP
dan GNP
• Kepuasaan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
• Pencapaian tujuan-tujuan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, yang dikaitkan dengan penggunakan sumber daya yang terbatas. Berdasarkan ukuran tersebut di atas, maka untuk mengetahui keterkaitan antara pendidikan dan pembangunan diperlukan data sebagai berikut.
• Pendidikan, yang meliputi partisipasi pendidikan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan
• Pendapatan nasional, baik dalam bentuk Pendapatan Nasional Bruto, Pendapatan Domestik Bruto, maupun Pendapatan Perkapita
• Perubahan peta ketenagakerjaan, dengan rentangan pertanian-jasa-industri
• Konsumsi energi
• Pendidikan Dan Pekerjaan Ukuran yang paling populer dalam melihat kontribusi
pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah mempertautkan antara
pendidikan dengan pekerjaan.
Pemikiran ini didasarkan pada anggapan bahwa pendidikan merupakan human capital. Pemikiran ini muncul pada era industrialisasi dalam masayarkaat modern.
Argumen ini memiliki dua sepek, yaitu:
• Pendidikan merupakan suatu bentuk investasi nasional untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi modern, dan
• Investasi pendidikan diharapkan menghasilkan suatu peningkatan kesejahteraan dan kesempatan yang lebih luas dalam kehidupan nyata.
Sebagai ilustrasi, meningkatkan tingkat pendidikan pekerja berpenghasilan rendah akan memberikan tiga pengaruh positif, yaitu:
• Meningkatkan produktivitas kerja dan konsekuensinya terhadap pendapatan 33.
Meningkatakan suplai tenaga kerja dengan keahlian tinggi dan konsekuensinya
terhadap rendahnya gaji mereka, dan
• Menciptakan kekurangan pekerja berkeahlian rendah dengan konsekuensi
mengingkatkan gaji pekerja golongan ini.
Pendidikan memiliki daya dukung yang representatif atas pertumbuhan ekonomi. Tyler mengungkapkan bahwa pendidikan dapat meningkatkan produktivitas kerja seseorang, yang kemudia akanmeningkatakan pendapatannya. Peningkatan pendapatan ini berpengaruh pula kepada pendapatan nasional negara yang bersangkutan, untuk kemudian akan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat berpendapatan rendah. Sementara itu Jones melihat pendidikan sebagai alat untuk menyiapkan tenaga kerja terdidik dan terlatih yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jones melihat, bahwa pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja potensial, dan menjadi lebih siap latih dalam pekerjaannya yang akan memacu tingkat produktivitas tenaga kerja, yang secara langsung akan meningkatakan pendapatan nasional. Menurutnya, korelasi antara pendidikan dengan pendapatan tampak lebih signifikan di negara yang sedang membangun. Sementara itu Vaizey melihat pendidikan menjdi sumber utama bakat-bakat terampil dan terlatih. Pendidikan memegang peran penting dalam penyediddan tenaga kerja. Ini harus menjadi dasar untuk perencanaan pendidikan, karena pranata ekonomi membutuhkan tenaga- tenaga terdidik dan terlatih. Permasalahan yang dihadapai adalah jarang ada ekuivalensi yang kuat antara pekerjaan dan pendidikan yang dibutuhkan yang mengakibatkan munculnya pengangguran terdidik dant erlatih. Oleh karena itu, pendidikan perlu mengantisipasi kebutuhan. Ia harus mampu memprediksi dan mengantisipasi kualifikasi pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja. Prediksi ketenagakerjaan sebagai dasar dalam perencanaan pendidikan harus mengikuti pertumbuhan ekonomi yang ada kaitannya dengan kebijaksanaan sosial ekonomi dari pemerintah. Intervensi pendidikan terhadap ekonomi merupakan upaya penyiapan pelaku-pelaku ekonomi dalam melasnakan fungsi-fungsi produksi, distribusi, dan konsumsi. Intervensi terhadap fungsi produksi berupa penyediaan tenaga kerja untuk berbagai tingkatan yaitu top, midle, dan low management; atau secara ekstrim tenaga kerja krah biru dan krah putih. Di samping tenaga kerja, juga pendidikan mengintervensi produksi untuk penyediaan entrepreneur tangguh yang mampu mengambil resiko dalam inovasi teknologi produksi. Bentuk intervensi lain yaitu menciptakan teknologi baru dan menyiapkan orangorang yang menggunakannya. Program-program perluasan produksi melalui intensifikasi dan rasionalisasi merupakan salah satu wujud nyata dari peran prangata pendidikan atas fungsi produksi ini. Intervensi terhadap fungsi distribusi adalah melalui pengembangan research and development produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat atau konsumen. Intervensi terhadap fungsi konsumsi dilakukan melalui peningkatan produktivitas kerja yang akan mendorong peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan ini akan mendorong pada peningkatan fungsi konsusmsi, yang ditunjukan dengan meningkatnya jumlah tabuhan yang berasal dari pendapatan yang disisihkan.
Tabungan ini akan menjadi investasi kapital yang tentunya akan lebih mempercepat laju pertumbuhan ekonomi suatu negara.
• Pendapatan per-kapita
• Perubahan peta ketenagakerjaan dari pertanian ke industri
• Konsumsi energi atau pemakaian barang berteknologi tinggi seperti mobil,
telepon, televisi Dengan demikian kriteria untuk menilai keberhasilan
pembangunan
• Peningkatan dalam efisiensi sistem produksi masyarakat yang diukur dengan GDP
dan GNP.
• Kepuasaan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,
• Pencapaian tujuan-tujuan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, yang
dikaitkan dengan penggunakan sumber daya yang terbatas. Pola keterkaitan
antara pendidikan dan pembangunan berbeda sesuai dengan karakteristik khas
setiap negara. Secara ringkas tampak berikut ini.
• Negara Kapitalis vs Negara Sosialis. Ekonomi di negara kapitalis
mengasumsikan bahwa model produksinya bebas dari intervensi pemerintah dan
mensyaratkan adanya kompetisi terbuka di dalam pemasaran.
Hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi sangat erat dan pendidikan merupakan suatu hal yang diperlukan. Ekonomi di negara sosialis, memiliki konteks yang berbeda dalam mengitepretasikan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.
Pemerintah memiliki peranan di dalam mengontrol jalannya proses produksi dan pemasaran. Kaitan antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan seolah tidak terlihat karena pembangunan sangat diatur oleh negara, bukan ditentukan oleh masing-masing warga negara. Negara Industri vs Non-Industri. Di Amerika Serikat yang sudah maju, persentase pekerja yang bekerja di sektor industri sebesar 33 % dan di bidang jasa/service sebesar 66 %. Di Meksiko persentase di sektor yang sama adalah 23 % dan 33 %. Di negara maju, penduduknya memiliki pendapatan perkapita yang lebih tinggi, pemakaian teknologi yang canggih, konsumsi energi yang lebih besar dibandingkan negara kurang berkembang. Di negara maju memiliki akumulasi modal yang lebih besar, sebagai akibat dari kelebihan pendapatan setelah dikurangi kebutuhan konsumsi, sehingga jumlah tabungan semakin lebih besar dan pada akhirnya akan diinvestasikan lagi pada sistem ekonomi yang telah berjalan. Hubungan antara pendidikan dan pembangunan di negara maju sangat jelas dilihat dari adanya perubahan karakteristik individu yang berkaitan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Di negara non-industri, perekonomiannya sangat tergantung kepada sektor pertanian sehingga persentase tenaga kerjanya lebih banyak yang bekerja di sektor non-industri. Jelas bagaimana pentingnya analisis kontribusi pendidikan dalam pembangunan. Salah satu alasan banyaknya kontroversi tentang kaitan antara pembangunan dan pendidikan disebabkan karena sedikit sekali kebijakan pendidikan yang dimonitor benar-benar dan juga dievaluasi hasilnya. Analisis terhadap pendidikan biasanya bersifat ex-post fakto, artinya data diperoleh dari kejadian-kejadian yang telah lampau. Sebenarnya konsep bagaimana pendidikan itu harus dievaluasi harus dikembangkan sejak tujuannya ditetapkan. dengan memperhatikan kerangka berpikirnya dan metodologinya. Metode yang sering dipakai dalam penelitian evaluasi adalahl linear regresion and the educational production. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk membicarakan lebih lanjut kontribusi pendidikan terhadap pembangunan harus ditemukan kriteria-kriteria atau ukuran-ukuran pertumbuhan atau hasil pembangunan. Dari uraian di atas, maka dapatlah dirumuskan ukuran-ukuran sebagai berikut.
• Teknologi tinggi dan sumberdaya yang mengoperasikannya
• Pendapatan per-kapita
• Perubahan peta ketenagakerjaan dari pertanian ke industri
• Konsumsi energi atau pemakaian barang berteknologi tinggi
• Peningkatan dalam efisiensi sistem produksi masyarakat yang diukur dengan GDP
dan GNP
• Kepuasaan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
• Pencapaian tujuan-tujuan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, yang dikaitkan dengan penggunakan sumber daya yang terbatas. Berdasarkan ukuran tersebut di atas, maka untuk mengetahui keterkaitan antara pendidikan dan pembangunan diperlukan data sebagai berikut.
• Pendidikan, yang meliputi partisipasi pendidikan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan
• Pendapatan nasional, baik dalam bentuk Pendapatan Nasional Bruto, Pendapatan Domestik Bruto, maupun Pendapatan Perkapita
• Perubahan peta ketenagakerjaan, dengan rentangan pertanian-jasa-industri
• Konsumsi energi
• Pendidikan Dan Pekerjaan Ukuran yang paling populer dalam melihat kontribusi
pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah mempertautkan antara
pendidikan dengan pekerjaan.
Pemikiran ini didasarkan pada anggapan bahwa pendidikan merupakan human capital. Pemikiran ini muncul pada era industrialisasi dalam masayarkaat modern.
Argumen ini memiliki dua sepek, yaitu:
• Pendidikan merupakan suatu bentuk investasi nasional untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi modern, dan
• Investasi pendidikan diharapkan menghasilkan suatu peningkatan kesejahteraan dan kesempatan yang lebih luas dalam kehidupan nyata.
Sebagai ilustrasi, meningkatkan tingkat pendidikan pekerja berpenghasilan rendah akan memberikan tiga pengaruh positif, yaitu:
• Meningkatkan produktivitas kerja dan konsekuensinya terhadap pendapatan 33.
Meningkatakan suplai tenaga kerja dengan keahlian tinggi dan konsekuensinya
terhadap rendahnya gaji mereka, dan
• Menciptakan kekurangan pekerja berkeahlian rendah dengan konsekuensi
mengingkatkan gaji pekerja golongan ini.
Pendidikan memiliki daya dukung yang representatif atas pertumbuhan ekonomi. Tyler mengungkapkan bahwa pendidikan dapat meningkatkan produktivitas kerja seseorang, yang kemudia akanmeningkatakan pendapatannya. Peningkatan pendapatan ini berpengaruh pula kepada pendapatan nasional negara yang bersangkutan, untuk kemudian akan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat berpendapatan rendah. Sementara itu Jones melihat pendidikan sebagai alat untuk menyiapkan tenaga kerja terdidik dan terlatih yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jones melihat, bahwa pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja potensial, dan menjadi lebih siap latih dalam pekerjaannya yang akan memacu tingkat produktivitas tenaga kerja, yang secara langsung akan meningkatakan pendapatan nasional. Menurutnya, korelasi antara pendidikan dengan pendapatan tampak lebih signifikan di negara yang sedang membangun. Sementara itu Vaizey melihat pendidikan menjdi sumber utama bakat-bakat terampil dan terlatih. Pendidikan memegang peran penting dalam penyediddan tenaga kerja. Ini harus menjadi dasar untuk perencanaan pendidikan, karena pranata ekonomi membutuhkan tenaga- tenaga terdidik dan terlatih. Permasalahan yang dihadapai adalah jarang ada ekuivalensi yang kuat antara pekerjaan dan pendidikan yang dibutuhkan yang mengakibatkan munculnya pengangguran terdidik dant erlatih. Oleh karena itu, pendidikan perlu mengantisipasi kebutuhan. Ia harus mampu memprediksi dan mengantisipasi kualifikasi pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja. Prediksi ketenagakerjaan sebagai dasar dalam perencanaan pendidikan harus mengikuti pertumbuhan ekonomi yang ada kaitannya dengan kebijaksanaan sosial ekonomi dari pemerintah. Intervensi pendidikan terhadap ekonomi merupakan upaya penyiapan pelaku-pelaku ekonomi dalam melasnakan fungsi-fungsi produksi, distribusi, dan konsumsi. Intervensi terhadap fungsi produksi berupa penyediaan tenaga kerja untuk berbagai tingkatan yaitu top, midle, dan low management; atau secara ekstrim tenaga kerja krah biru dan krah putih. Di samping tenaga kerja, juga pendidikan mengintervensi produksi untuk penyediaan entrepreneur tangguh yang mampu mengambil resiko dalam inovasi teknologi produksi. Bentuk intervensi lain yaitu menciptakan teknologi baru dan menyiapkan orangorang yang menggunakannya. Program-program perluasan produksi melalui intensifikasi dan rasionalisasi merupakan salah satu wujud nyata dari peran prangata pendidikan atas fungsi produksi ini. Intervensi terhadap fungsi distribusi adalah melalui pengembangan research and development produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat atau konsumen. Intervensi terhadap fungsi konsumsi dilakukan melalui peningkatan produktivitas kerja yang akan mendorong peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan ini akan mendorong pada peningkatan fungsi konsusmsi, yang ditunjukan dengan meningkatnya jumlah tabuhan yang berasal dari pendapatan yang disisihkan.
Tabungan ini akan menjadi investasi kapital yang tentunya akan lebih mempercepat laju pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Kontribusi Psikologi terhadap Pendidikan
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa
sudah sejak lama bidang psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan
dalam pengembangan teori dan praktek pendidikan dan telah memberikan kontribusi
yang besar terhadap pendidikan, diantaranya terhadap pengembangan kurikulum,
sistem pembelajaran dan sistem penilaian.
1. Kontribusi Psikologi Pendidikan
terhadap Pengembangan Kurikulum.
Kajian psikologi pendidikan dalam
kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan
pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari
berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian
psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out
pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan
kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia
merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam
pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh
setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap,
motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik individu lainnya.
Kurikulum pendidikan seyogyanya
mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang
sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun
metode penyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks
pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah
kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya
pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang
direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan
bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi
kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar
untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan
aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2)
pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4)
standarisasi kemampuan siswa
2. Kontribusi Psikologi Pendidikan
terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan telah
melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal
adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical
conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori
kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang
menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya
teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses
pembelajaran.
Di samping itu, kajian psikologi
pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi
kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas
prinsip dalam belajar, yakni :
- Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
- Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
- Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
- Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
- Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
- Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
- Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
- Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
- Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
- Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
- Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
- Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
- Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
3. Kontribusi Psikologi Pendidikan
terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan merupakan
salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat
keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita dapat memahami
perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti
kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah
memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh
setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis,
baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu
lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak
digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude
Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat
dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti
penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan
sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.
Oleh karena itu, betapa pentingnya
penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas
profesionalnya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari
uraian pembahasan dapat disimpulkan bahwa dasar pendidikan adalah landasan
berpijak dan arah bagi pendidikan sebagai wahana pengembangan manusia dan
masyarakat. Walaupun pendidikan itu bersifat universal, namun bagi suatu
masyarakat pendidikan akan diselenggarakan berdasarkan filsafat dan pendangan
hidup serta berlangsung dalam latar belakang sosial-budaya masyarakat tersebut.
Asas atau prinsip pendidikan adalah ketentuan-ketentuan yang dijadikan pedoman
atau pegangan dalam melaksanakan pendidikan agar tujuannya tercapai dengan
benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan prinsip atau asas ini maka
pelaksanaan pendidikan dapat berjalan lancar, efektif, dan efesien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar